Selasa, 20 November 2007

Cara Memasak Rumput yang Baik

Cara Memasak Rumput yang Baik


Sapi dan kerbau, juga kambing, dan banyak binatang yang lainnya makan rumput. Dan ternyata mereka berhasil melewati masa-masa kehidupan yang baik, gemuk-gemuk, dan pandai berlari. Tetapi mereka memang bukan mahluk serakah seperti manusia.
Yang menjadi persoalan bagi orang modern adalah pertama kenikmatan dan yang kedua adalah rasa aman. Hal itu merupakan bentuk pergeseran yang sungguh unik sejak manusia mengalami fase kebinatangan, fase berburu dan meramu, bertani, dan kemudian modern. Dulunya rasa aman dan kemampuan bertahan hidup adalah nilai yang paling utama dan pertama. Dan kini semuanya dinilai pertama dalam kerangka kenikmatan, termasuk dalam persoalan diet. Memang rumput nampaknya tidaklah terlalu menjanjikan kenikmatan untuk dimakan, terkecuali jika dicampur dengan daging ataupun bumbu-bumbu yang lain seperti garam, merica, ataupun bawang. Tetapi akan sangat lain jika kemudian memakan rumput menjadi sebuah trend yang sangat funky dan cool. Itu yang menjadi harapan bagi para pemikir diet post-alternatif.Yang menjadi pertanyaan selanjutnya lagi adalah apakah juga rumput hanya bisa di sop, ataukah juga bisa digoreng, ataukah juga bisa dijadikan dalam bentuk instan. Ada sebuah laporan bahwa sebuah perusahaan makanan ringan mencoba membuat chips/keripik siap saji dengan rasa rumput. Sayangnya kemudian perusahaan itu tidak bertahan lama dalam perebutan pasar keripik instan di Indonesia. Memang sebanyak mungkin cara yang bisa dilakukan untuk bisa dimakan membuat rumput dan jenis-jenis serupa seperti alang-alang ataupun juga bentuk yang lainnya seperti perdu-perduan menjadi layak tidak hanya untuk sekedar bertahan hidup. Ada juga pertanyaan apakah rumput dan sebagainya, tidaklah beracun, meskipun ini adalah pertanyaan yang sangat minor dan ironis dalam era budaya konsumer. Dan ternyata jawabannya adalah toh menjadi sangatlah bersifat politis, meninggalkan perdebatan tanpa henti. Nampaknya memang ada jenis-jenis rumput yang beracun, dan nampaknya kita bisa meminta tolong pada sapi maupun kerbau kita untuk menentukan apakah rumput tertentu beracun atau tidak. Kenyataannya makanan-makanan utama manusia seperti padi, kacang polong, maupun kentang di dalam era revolusi hijau justru lebih beracun dan mematikan. Tumbuhan-tumbuhan itu dengan semena-mena kita tumpahruahi dengan pestisida dan pupuk, direkayasa tak karuan gennya, sekedar untuk memaksa mereka agar bisa memenuhi kebutuhan diet masyarakat dunia yang semakin lama semakin membengkak jumlahnya ini. Dan tentunya akan sangat ironis pertanyaan lugu apakah rumput ini dan itu beracun untuk dimakan, ketika kita tak faham apa esensi dari kata racun itu lagi. Tetapi ada banyak sekali jenis rumput yang sama sekali tidak beracun, bahkan memiliki kandungan gizi yang tinggi, justru karena ia merupakan bentuk gulma. Sifatnya yang selalu merebut kesempatan hidup dari tumbuhan-tumbuhan yang lain membuatnya menyerap kandungan gizi yang luarbiasa. Ada sebuah cerita yang sangat terkenal di Tibet tentang seorang yogi besar bernama Milarepa yang hampir sepanjang waktu hidup bertapanya bertahan hanya dengan memakan rumput ilalang yang ia rebus dalam periuk tanahnya. Saya juga punya pengalaman dalam memakan rumput yang bernama rumput teki. Hal itu saya lakukan saat saya masih kanak-kanak dibimbing oleh orang tua saya sendiri. Umbi dari rumput teki itu membesar sedikit seperti ketela kecil, memiliki rasa yang sangat enak, pedas-pedas manis gimana gitu. Konon menurut orang tua saya, terutama nenek saya, rumput teki sangat berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh kita dari penyakit-penyakit seperti flu, tetanus, maupun hepatitis. Selain itu jika sering memakan rumput teki akan meningkatkan kecerdasan otak anak. Dan juga harus difahami bahwa bawang, serai, tebu, padi, jewawut, dan sebagainya adalah bagian dari keluarga rumput-rumputan. Toh juga banyak orang yang hidupnya sangat tergantung pada bawang. Ia tak mau makan jika tak ada bawang goreng atau spring onion di dalam sup atau burgernya. Ada sebuah tulisan bahwa seorang dokter Belanda di sebuah kamp interniran di zaman Jepang bernama Dr. Pieter Geyl yang sangat merasa khawatir terhadap kondisi gizi warga interniran Belanda yang semakin lama semakin memburuk. Menurut catatannya begitu banyak kasus kekurangan gizi yang membuat warga kamp tewas secara berturut-turut, dan hal itu terutama karena kekurangan vitamin dan mineral. Berdasarkan pengalamannya sendiri, rumput mengandung begitu banyak vitamin dan mineral, selain kandungan karbohidrat dan proteinnya. Kandungan vitamin C dan B1, B2, B6, B12, maupun vitamin E rumput ternyata melebihi kandungan dalam bayam dalam proporsi menu yang sama. Selain itu kandungan Zinc, zat besi, dan juga kalsiumnya sangatlah besar. Menurut perhitungannya kandungan karbohidrat dalam rumput secara umum setara dengan kandungan dalam daun selada maupun kubis dalam proporsi berat basah yang sama, sementara kandungan proteinnya justru secara mengejutkan lebih besar 3 kalilipat dari kandungan protein dalam beras yang banyak dikonsumsi masyarakat Hindia Belanda pada saat itu. Ia memandang secara obyektif bahwa rumput yang begitu banyak tersedia di sekeliling kamp merupakan kesempatan untuk memperjuangkan kehidupan warga kamp. Ia membuat sebuah antisipasi berani dengan memasak banyak sekali rumput di kuali besar, dan menyarankan setiap orang di kamp dalam sehari paling tidak memakan sup rumput itu sebanyak 1 pint. 1 pint kira-kira setara dengan ½ liter. Memang kemudian tercatat dalam laporannya bahwa warga kamp hampir semuanya menolak untuk tetap melanjutkan mengikuti anjuran dan jejak langkahnya setelah kali pertama percobaan yang gagal, karena rasa sup rumput itu menurut mereka sama sekali tidaklah enak. Tetapi terbukti bahwa beberapa orang yang bertekad keras untuk mengikuti anjurannyalah yang kemudian berhasil bertahan hidup hingga saat-saat Jepang menyerah oleh sekutu 3,5 tahun setelahnya. Termasuk sang dokter sendiri. Nampaknya kegagalan membuat sajian masakan sup rumput itu lebih banyak disebabkan karena keterbatasan-keterbatasan bumbu yang tersedia pada saat itu, selain juga karena keawaman kulinari sang dokter yang pantas dimaklumi dalam memahami cara memasak sup dari bahan sayuran secara baik dan ideal. Fakta-fakta historis seperti itu sungguhlah penting untuk meyakinkan orang-orang bahwa memakan rumput sangatlah berguna tak hanya bagi seorang pertapa seperti Milarepa ataupun warga interniran maupun kamp konsentrasi, tetapi juga pada para bisnisman, politisi, pemikir dan bahkan yang terpenting adalah orang-orang melarat di seluruh dunia. Dalam kasus Milarepa, memang karena ia terus menerus memakan rumput ilalang, diceritakan bahwa seluruh tubuhnya kemudian berubah warna menjadi hijau. Tetapi alangkah noraknya jika warna hijau seperti itu kemudian dianggap buruk. Rumput mengandung banyak sekali klorofil yang tentunya mengandung efek yang alami bagi tubuh, sama saja dengan jika kita terlalu banyak makan daging dan lemak mengakibatkan obesitas (kegemukan), penyakit jantung dan kolesterol. Semua hal seperti itu adalah konsekuensi-konsekuensi logis yang patut diterima dengan lapang dada. Dan juga warna hijau tentunya adalah warna yang indah. Toh banyak sekali warga indonesia yang mengharapkan warna rambutnya menjadi pirang atau paling tidak kecoklat-coklatan, dan matanya menjadi biru, sehingga mereka terpaksa harus membayar mahal di salon-salon kecantikan dan membeli kontak lens untuk meniru-niru biji mata orang bule. Warna hijau tubuh sungguh keren dan funky. Apalagi jika kemudian hal itu menular pada warna rambut ataupun matanya. Tentunya saya tidak tahu apakah warna mata kemudian bisa berubah menjadi hijau, tetapi alangkah indahnya sebuah proses pembuktian. Oleh karena sedikit sekali orang melarat maupun bisnisman yang punya kesempatan mengadakan penelitian yang komprehensif tentang gizi rumput memerlukan uluran bantuan dari para pemikir biologi maupun antropologi gizi. Sampai saat ini, kecenderungan yang ada adalah bahwa penelitian-penelitian ilmiah tentang makanan alternatif sangatlah sedikit mendapatkan uluran bantuan dana, karena kepentingan-kepentingan kapitalis dan politik memang mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang sifatnya komersial dan sesaat. Sangatlah menohok perasaan bagaimana kasus revolusi hijau yang menghancurkan tanah dan kondisi air di negeri berkembang, meracuni gen masyarakat dunia ketiga, kemudian diteruskan dengan penelitian-penelitian transgenetik tumbuhan yang lebih beresiko lagi. Padahal rumput tersedia luas dari padang Zaire di Afrika yang panas hingga Siberia yang sebeku apapun, dengan resiko bahaya yang hampir-hampir bisa dibuktikan dengan pengalaman empiris yang sangat sederhana belaka. Memang kemudian ada pertanyaan klasik, jika masyarakat tradisional tidak menggunakan rumput untuk makanan sejak zaman dahulu, tentunya rumput memang tidak layak untuk dimakan. Jawabannya adalah bahwa, memang benar bahwa hampir tak ada satu pun etnis di dunia yang memanfaatkan rumput untuk menjadi bagian alami dari diet mereka. Tetapi tidak berarti bahwa tidak ada kasus-kasus tertentu yang tidak mengharuskan sebuah masyarakat memakan rumput, dan juga, tidak bisa kita memaksakan diri dengan fakta-fakta logis yang terbatas seperti itu bahwa kebijaksanaan tradisional akan selalu 100% benar. Selalu ada kondisi-kondisi meleset, dan juga ketidakkonsistenan kultural yang harus dihapus dan dirombak, seperti contohnya dalam kasus Milarepa maupun kamp interniran. Sama saja seperti bahwa meskipun hampir tak ada sebuah etnis di dunia pun yang memasukkan cacing sebagai bagian dari pola diet mereka, hal itu tidaklah kemudian bisa meruntuhkan nilai ilmiah dari sebuah penelitian independen yang sangat terkenal yang menemukan fakta bahwa cacing memiliki kandungan protein yang luarbiasa, dan rasanya enak. Jadi memang persoalannya kembali pada persoalan politik, estetika, dan juga kemauan membuka mata pada pengalaman-pengalaman baru. Dan jika persoalannya seperti itu maka giliran paling utama yang bisa mengambil peran adalah kaum expert kulinari. Yaitu para koki, chef, ibu rumahtangga, anak-anak kost, dan juga para pengamat/pencicip makanan. Persoalannya akhirnya menjadi cuma dua hal: bagaimana menjamin bahwa bahan makanan dari rumput aman untuk dimakan, dan yang kedua adalah bagaimana cara memasaknya sehingga rasanya enak. Cara paling sederhana dalam melihat apakah rumput tertentu beracun apakah tidak adalah dengan mencoba membubuhinya dengan apa yang oleh orang Jawa disebut kapur injet. Setelah ditoreh akan kelihatan apakah warna kapur itu kemudian tetap putih atau kemudian berubah menjadi biru atau bahkan ungu. Jika berwarna biru atau ungu, berarti rumput jenis tertentu itu jelas sekali mengandung racun. Dan setelah dibuktikan lewat kebijaksaan tradisional seperti itu, selanjutnya akan ditemukan dan didefinisikan jenis-jenis rumput yang aman untuk dimakan. Selanjutnya bisa dipilih dan dicoba-coba apakah jenis rumput tertentu enak untuk dimakan apakah tidak. Rumput tertentu seperti rumput jepang sangatlah keras sehingga memerlukan waktu yang sangatlah lama untuk dimasak hingga lunak, sementara rumput-rumput jenis yang lain lebih lunak dan memiliki kandungan klorofil yang lebih banyak. Selanjutnya adalah fase memasak dan membumbui. Fase terpenting yang difahami jelas dan mutlak oleh para koki seluruh penjuru dunia.

Saya akan memberikan sebuah usul resep masakan sup rumput yang paling mudah, sederhana, murah, dan bisa dilakukan oleh semua orang.
Bahan:
1. kumpulkan rumput berupa daun kira-kira ½ kilogram.
2. dapur kira-kira ½-1 ons.
3. gula ¼ ons
4. bawang putih 5 siung.
5. bawang merah 3 siung.
6. cabai rawit 5-10 biji
7. merica 1 sdk makan.
8. tepung maizena atau sagu ±8 sendok makan.
9. minyak sayur/wijen 3 sndk makan
Alat-alat:
kompor
periuk besar/panci rebus.
pengaduk panjang dari kayu.
sendok sup besar.
mangkuk saji & sendok-sendok.

Cara memasak:
rendam rumput dalam air garam selama ± 2 jam.
setelah direndam hingga lunak, bilas rumput dengan air hingga bersih.
siapkan kuali/panci berisi air 2½ liter.
potonglah rumput hingga kecil-kecil, kira-kira sepanjang ½ - 1 cm. Jika bisa menggunakan food proccessor akan lebih menghemat tenaga.
kupas bawang, bawang putih, dan kemudian geprak gingga gepeng.
potong cabai rawit kecil-kecil
rebus air dalam kuali itu hingga hampir mendidih dalam api medium.
masukkan rumput secara perlahan-lahan.
aduk perlahan-lahan dan tetaplah terus diaduk biarpun telah mendidih.
terus rebus hingga adonan rumput menjadi lembut, dan volume air menyusut hingga ± 75% dari semula.
masukkan bawang putih dan bawang merah, cabe rawit, dan disusul oleh merica.
masukkan juga tepung maizena/sagu secara sepat, dan kemudian aduk, jaga jangan sampai menggumpal.
masukkan garam dan gula, cicipi sampai rasanya pas.
aduk terus dalam api medium hingga adonan menjadi kental dan berwarna hijau lembut.
tambahkan minyak sayur/wijen ke dalam adonan dan aduk hingga merata.
masakan sop rumput siap dihidangkan, cukup untuk porsi 5 orang.

Alternatif resep yang lainnya adalah bakwan rumput:
Bahan:
rumput ½ ons
cabai merah 5 biji
cabai jumprit 3-5 biji
bawang 3-5 siung
garam
tepung terigu ¼ kg
minyak goreng untuk menggoreng
Alat-alat:
kompor
wajan/pan
mangkuk
piring-piring saji dan sendok garpu
sothil
Cara memasak:
rumput direndam 1-2 jam dalam air bersih, kemudian dibersihkan. Cacah hingga lembut
cacahlah cabai, dan bawang hingga lembut.
sediakan mangkuk, dan buatlah adonan tepung terigu dengan air hingga kental didalamnya.
masukkan cacahan rumput itu kedalam adonan tepung dan aduk hingga kental.
masukkan garam, bawang, dan cabai ke dalam adonan, dan diaduk hingga merata.
panaskan minyak goreng dalam wajan hingga mendidih dalam api medium.
dengan sendok besar masukkan adonan satu per satu ke dalam minyak mendidih hingga coklat dan berbau gurih.
bolak-balik, dan angkat dan ditiriskan. Sajikan di piring besar. Masakan bakwan rumput siap untuk disajikan bagi 5 orang.

Variasi-variasi memasak rumput yang lain juga bisa dilakukan, misalnya dengan menambahkan daging ayam ataupun udang, kacang, kentang, wortel, maupun bumbu yang lain seperti bumbu kari ataupun juga berbagai jenis cabai. Dengan kesempatan dan keberanian kreatif dari ahli-ahli kulinari seperti itu, maka diharapkan bisa dibuat selanjutnya resep-resep masakan rumput yang lebih beraneka ragam, nikmat, dan berkesadaran kultural. Sekaligus juga memberikan sumbangan bagi dunia kesehatan, demokrasi, dan kebebasan bagi masyarakat dunia.

Tidak ada komentar:

SiteSearch Google

Google