Kamis, 13 Desember 2007

Kampanye Penggunaan Jam Tangan untuk Rakyat

Saya mengamati selama berhari-hari perilaku
orang-orang yang ada di terminal, stasiun kereta api.
Mereka adalah para pedagang kakilima, pedagang
keliling, pengemis, gelandangan, asong koran, orang
iseng, pelajar miskin, dan sebagainya. Pada pokoknya,
saya tengah mengamati kegiatan mereka rakyat kecil.
Ada sesuatu yang tiba-tiba mengerjap di mata hati
saya: demikian sedikit masyarakat kecil miskin yang
mengenakan jam tangan dalam kegiatan sehari-harinya.
Konon bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka jam
karet. Suka telat dan serba menunda-nunda untuk
menyelesaikan segala hal. Hampir segala hal bisa
digunakan sebagai alasan untuk hal ini, mulai dari
macet, hujan, bangun tidur, dan sebagainya. Dan sikap
molor/jam karet tersebut sebenarnya lebih sering
dilakukan oleh orang-orang kelas menengah ke atas.
Fakta ini sungguh unik dan mengagetkan:Kaum kelas
menengah ke bawah agak lebih tepat waktu dibandingkan
kelas menengah atas. Sikap molor kelas menengah ke
atas sungguh parah. Saya membuktikannya sendiri saat
meminta jasa sopir, tukang kebon, dan sebagainya.
Ternyata mereka semua selalu tepat waktu memenuhi
janji kedatangan mereka kepada saya. Sementara saat
saya berjanji dengan kelas menengah atas, ada saja
keterlambatan yang mereka alami. Alasan mereka yang
paling umum adalah: "Wah, jalannya sungguh macet."
Memang jalanan macet. Benar. Tak bisa dibantah. Dan
hal ini adalah kesalahan kolektif kita sebagai bangsa.
Tentu yang paling salah adalah pemerintah, terutama di
zaman Orde Baru saat kita dimanjakan dengan bis, mobil
murah dari Jepang, bensin melimpah ruah murah, dan
jalanan aspal mulus yang dibangun secara intensif.
Tetapi di sisi lain transportasi umum murah seperti
kereta api diabaikan. Konon Soekarno di tahun 50-an
sudah berencana untuk emmabngun kereta bawah tanah di
jakarta, namun tidak berhasil terlaksana karena keburu
terlanda krisis ekonomi dan terjatuh secara politik.
Zaman Orde Baru adalah zaman yang nyaman bagi kelas
menengah atas. Mobil ada, bensin murah, dan kita pun
bersukaria. Namun sejak 90-an, kita menjadi
terkungkung oleh kendaraan pribadi. Jalanan macet, dan
saat kini kita dilanda kebobrokan kota. Jakarta
menjadi sebuah kota maksimum. Kita seolah tak bisa
bepergian kemanapun di sana. Kita tercekat dalam
macet, banjir, polusi, dan kepenuhan, kepenatan.
Saya adalah seorang yang selalu mengenakan jam tangan
dalam kehidupan sehari-hari, bahkan kadang saat tidur
di malam hari. Waktu pun merupakan hal yang sangat
signifikan bagi saya. Saya pernah menghitung, dalam
jangka waktu satu jam, umumnya saya menengok jam
tangan sebanyak 4 kali. Hal ini berarti setiap 15
menit, saya selalu menengok waktu di jam tangan saya.
Apakah saya seorang yang obsesif dan maniak? Tentu
saja tidak, karena saya pernah melihat banyak orang
asing melakukan hal yang sama seperti saya.
Saya adalah juga seorang yang cukup tepat waktu. Saya
sungguh ingat pengalaman-pengalaman saya di masa lalu.
Saat diundang datang ke sebuah pesta, biasanya saya
datang tepat waktu, dan saya terlongong-longong lama
sendirian di sana. Belum ada tamu yang hadir. Bahkan
kadang tuan rumahnya pun belum hadir, entah sedang ke
mana. Kadang dengan rasa sedih saya memaksakan diri
untuk datang telat, dengan rasa sakit di hati yang
luarbiasa.
Oleh sebab itu, saya sangat tahu saat orang terlambat
5 atau 10 menit. Dan mungkin siapapun bersetuju dengan
saya bahwa menunggu adalah saat yang sangat
menyebalkan. Orang ingin segera dipenuhi kebutuhannya
saat itu juga. Sayang sekali hal seperti ini adalah
hal yang sangat mahal harganya di Indonesia. Di
mana-mana ada antrian minyak tanah, antrian dokter,
antrian bayar listrik, dan sebagainya. Kereta api dan
bis pun datang tak pernah tepat waktu. Seakan-akan,
mengharapkan ketepatan waktu dari mereka yang berkuasa
adalah sebuah kesia-siaan belaka.
Sejak kecil kita diajar untuk tepat waktu, namun
kenapa hasilnya demikian sia-sia dalam kultur kita?
Coba kita telaah pengalaman kita saat kecil: kita
diwajibkan datang tetap waktu ke sekolah. Jika
terlambat maka kita akan dihukum. Namun sebaliknya:
jika guru kita terlambat, kita diharapkan untuk diam
saja, tidak memprotes. Jika memprotes, maka kita
dihukum lagi.
Hal ini berlanjut hingga kita bekerja dikantor. Kita
tak boleh datang terlambat ke kantor, sementara bos
boleh seenaknya saja datang kapan saja. Inilah norma
keIndonesiaan. Dan sekali lagi, persoalan waktu adalah
persoalan kekuasan khas Indonesia: Semakin merasa
berkuasa kita terhadap keadaan, maka semakin tidak
tepat kita menjaga kedisiplinan diri.
Hal inilah yang membuat norma keIndonesiaan tentang
waktu menjadi jelas: kelas atas atau mereka yang
berkuasa sah-sah saja telat. Namun kelas bawah tak
boleh telat sama sekali. Inilah kenyataan
keIndonesiaan yang membuat wajah korup dan penuh
penindasan dari bangsa ini tak kunjung reda dan
hilang.
Dalam realitas sehari-hari, bagi kondisi-kondisi
hubungan kelas yang setara, bangsa Indonesia cenderung
jam karet. Perjanjian antar teman berarti sebuah
perjanjian jam karet secara otomatis. Coba saja kita
hitung secara bodoh saja setiap orang Indonesia
rata-rata umumnya telat memenuhi janjinya 3 kali
sehari, dengan waktu telat rata-rata 30 menit,
sedangkan jumlah penduduk Indonesia adalah sekitar 200
juta. Hitungannya menjadi: 3 x 30 x 200.000.000 =
18.000.000.000. jadi, dalam sehari, bangsa Indonesia
telah membuang-buang waktunya sebanyak 18.000.000.000
menit, yang sama dengan 300 juta jam. Apa yang bisa
dilakukan oleh bangsa kita selama 300 juta jam? Bisa
banyak sekali, mungkin bisa bahkan untuk memindah
sebuah gunung.
Bangsa asing melihat ketidaktepatan waktu orang
Indonesia ini dengan berkerut. Bagi mereka, untuk apa
telat, karena ketidaktepatan waktu adalah selalu
merugikan diri sendiri. Akibatnya orang asing
memandang rendah janji bangsa Indonesia. Mereka pun
menyepelekan kita. Dan kita terus terpuruk secara
budaya, ekonomi, politik. Hal ini karena kemampuan
paksa bangsa Indonesia pun demikian rendah pada bangsa
lain. Kita kehilangan nilai diri karena ketidaktepatan
kita dalam mengukur dan memenuhi tenggat waktu.
Saya pernah demikian heran. Demikian herannya sampai
mulut saya ternganga-nganga. Saat menonton film di
bioskop dengan istri saya, kami melihat banyak sekali
orang-orang yang datang demikian telat masuk ke dalam
ruang bioskop. Kami sungguh-sungguh terganggu oleh
bersliwerannya orang-orang yang sibuk mencari tempat
duduk dalam kegelapan. Mereka dengan semena-mena
berjalan ke sana-kemari sehingga menutupi pandangan
kami ke arah layar film. Padahal film telah berjalan
lebih dari 20 menit. Berarti orang-orang itu telah
sengaja atau tidak membuang demikian banyak waktu
mereka, sehingga kesempatan untuk mengoptimalkan
asupan kenikmatan mereka menonton film pun sebenarnya
hampir musnah. Walah-walah-walah....
Jelas sekali penonton bioskop itu adalah kaum yang
memiliki duit. Saya tahu pakaian mereka menterang.
Saat ada di dalam, kerlip dan dering HP mereka pun
masih bersahutan. Kaum miskin pasti akan berfikir 1000
kali untuk telat saat menonton bioskop, karena harga
tiket bioskop sungguh mahal. Mereka mungkin akan lebih
memilih membeli keping DVD film bajakan saja, sehingga
tak ada kemungkinan telat menonton. Memang kaum miskin
kadang harus bekerja demikian keras tanpa batas waktu,
sehingga kesempatan untuk bersenang-senang pun harus
dicuri-curikan saat beristirahat penat di rumah
kontrakan mereka.
Lantas apakah memperjuangakan ketepatan waktu bagi
bangsa ini adalah sebuah kesia-siaan besar? Kita
terima saja kebusukan kita sendiri? Tidak..... Bukan
sebuah kesia-siaan, terutama jika sebuah ritus dan
norma beku bisa didobrak. Dalam hal ini, sikap
ketidakadilan ketepatan waktu antara kelas menengah
atas dan bawah harus diruntuhkan. Setiap orang
sepatutnya bersikap tepat waktu satu dengan yang lain.
Setelah saya telaah dalam-dalam, ternyata ada alasan
yang jelas tentang hal itu. Bagaimanapun juga
orang-orang mengharapkan agar orang lain tepat waktu
saat berjanji. Namun saat tiba gilirannya memenuhi
janjinya, maka orang-orang Indonesia cenderung molor
dan tidak berdisiplin. Artinya: ada sebuah energi
laten yang kurang disadari, bahwa sebenarnya orang
Indonesia mengharapkan dirinya selalu ditenggang oleh
orang lain, sementara ia cenderung kurang menenggang
orang yang lain.
Titik inilah yang harus dirubah. Jiwa fasistik orang
Indonesia ini sering kita tampik. Kita selalu berkata
kepada dunia luar, bahwa kita adalah bangsa timur yang
berbudaya luhur, yang menghargai orang lain, bersopan
santun tinggi, penuh tenggang rasa. Saya berkata bahwa
semua orang di dunia adalah fasis, termasuk diri kita
sendiri. Semua orang sakit jiwa dan jahat. Maka kita
harus menyadari kejahatan kita sendiri sebelum bisa
merubah diri kita menjadi lebih baik.
Kita harus sadar, bahwa kesopanan kita adalah
kesopanan karena ketundukan pada yang lebih berkuasa.
Keramahan kita berbanding lurus dengan kepasrahan
kita. Budaya adiluhung kita, sebenarnya tak bisa kita
bandingkan dengan budaya adiluhung dari bangsa lain.
Setiap bangsa punya warisan adiluhungnya, tetapi apa
yang benar-benar kita pelihara dari warisan sejarah
kita? Hampir tak ada. Apakah anda tahu bentuk rumah
pada masa kerajaan Majapahit? Adakah tinggalannya?
Apakah kita benar-benar mengenal diri kita sendiri?
Kita bukan bangsa yang eklektik, yang sadar dan
memelihara warisan masa lalunya, sekaligus bisa secara
wajar menikmati modernitas, serta teguh berjuang demi
kemajuan teknologinya di masa depan. Kita adalah
bangsa yang serba lupa. Bangsa penikmat apa yang ada,
namun juga mudah lupa kenikmatan itu sebenarnya apa.
Kita kurang merenungi diri kita sendiri. Bangsa yang
mengimpor segala barang asing dengan menjual warisan
nenek moyang yang tersisa. Kita sedang memangkas masa
depan kita sendiri.
Ok. Kita kembali ke masalah ketidaktepan waktu:
Kelas menengah ke atas lebih banyak memanfaatkan
kendaraan pribadi saat bepergian. Hal ini juga menjadi
alat pembenar keserbaterlambatan mereka saat memenuhi
janji. Sementara kelas menengah ke bawah lebih banyak
berjalan, bersepeda, atau naik kendaraan umum. Meski
naik kendaraan umum pun tidak mengurangi beban macet
di Jakarta namun dengan pembudayaan penggunaan
kendaraan umum, sebenarnya kita sedang berkontribusi
dalam mengurangi kemandegan bangsa ini.
Dalam hal ini, kelas menengah atas punya duit.
Merekalah yang mempekerjakan para buruh, pembantu
rumahtangga, supir, tukang kebon, dan sebagainya.
Kelas menengah atas ini tentu saja punya daya tawar
lebih dalam menuntut perilaku orang-orang kelas
menengah ke bawah. Artinya: kalau kelas menengah atas
molor, maka patut ditenggang dan dimaklumi. Sementara
kalau kelas mennegha bawah molor, maka mereka sah-sah
saja dimarahi atau dipecat.
Karena kondisi tersebut, maka terdapat situasi dimana
kelas menengah bawah cenderung lebih tepat waktu jika
berjanji kepada orang lain, terutama majikan mereka.
Walau demikian, kaum kelas menengah ke bawah ternyata
juga kerap molor jika berjanji dengan teman-teman
mereka sendiri. Hal ini karena tuntutan.
Saya bukan seorang yang punya tangan besar untuk
merubah jagad dengan seketika. Walau saya tentu ingin,
seperti juga semua maniak juga menginginkannya. Tetapi
saya ingin membuat kehidupan masyarakat kecil lebih
nyaman barang sedikit. Untuk hidup lebih nyaman, pada
dasarnya setiap orang harus melompati batasan-batasan
kelasnya. Ia harus berubah menjadi sesuatu yang tak
terdefinisikan lagi, saat diperbandingkan dengan
mitologi identitasnya. Jika mitologi kelas bawah
adalah mereka yang miskin, dan tidak berdisiplin, maka
mereka harus mendekonstruksikannya secara langsung.
Pada dasarnya kelas bawah adalah mereka yang tetap
waktu. Tetapi sikap tepat waktu saja belumlah cukup
untuk bisa dipandang sebagai orang atau kaumyang tepat
waktu. Ia harus memiliki sebuah ikon. Ikon ketepatan
waktu adalah: jam. Dalam hal ini adalah jam tangan.
Anda mungkin berkilah bahwa kaum bawah sebenarnya tak
butuh jam tangan, karena harga jam tangan mahal, dan
mereka punya ritusnya sendiri, dimana ketentuan
waktunya bukanlah milik kita. Orang kelas menengah
atas berkata: "Kita kelas menengah atas punya budaya
yang adiluhung, dimana masyarakat bawah tak punya.
Maka kita yang punya hak pada waktu. Hak itu juga
terlekat pada jam tangan. Hanya kitalah yang punya hak
mengenakan jam tangan... namun kelas bawah harus
tepati janji merek a pada kita. Jika tidak, maka pecat
saja."
Sungguh, sikap seperti itu adalah sikap keIndonesiaan
yang tidak terpuiji. Kita perlu merubahnya. Coba kita
lihat di toko-toko. Ternyata harga jam tangan
sungguhlah bervariasi. Seolah perbandingannya seperti
surga dengan neraka. Ada jam tangan mewah berharga
miliaran rupiah, namun ada jam tangan yang harganya
lebih murah dibandingkan dengan sepiring nasi ayam.
Saat kita berjalan di stasiun kereta api, kita mungkin
akan melihat para pedagang jam tangan bekas. Harga jam
tangan di sana sungguh murah. Ada jam tangan yang
cukup bagus dan akurat dengan harga Rp. 10.000 saja.
Tentu saja jam tangan ini bukan jam tangan mewah,
namun bukan berareti jam tangan yang mudah rusak. Jam
tangan merek Q&Q yang harga barunya seharga Rp.
75.000, saat dijual bekas tentu merosot drastis
menjadi seharga Rp. 10.000 saja. Namun kualitasnya
masih bisa tetap bagus. Saya pernah membuktikan
sendiri betapa saya mengenakan jam tangan psastik
merek Q&Q selama bertahun-tahun dan tetap bertahan
bagus, meski tentu saja saya harus bebeberapa kali
mengganti baterenya. Namun mengganti batere jam tangan
bukanlah suatu kegiatan yang mahal. Dengan uang Rp.
5.000 saja, kita sudah bisa mendapatkan batere jam
yang bisa bertahan dipakai lebih dari 6 bulan.
Bagi kaum miskin, menabunglah dua tiga hari, sisihkan
Rp. 3000 sehari dengan tidak merokok atau berpuasa.
Setelah tiga hari, maka kita punya Rp. 9.000 atau Rp.
10.000. Dengan uang tersebut, kita bisa membeli jam
tangan bekas murahan yang masih baik. Kenakanlah
dengan bangga, dengan menyatakan bahwa anda sejak saat
itu adalah seorang yang peduli dengan waktu. Anda
adalah pengendali diri anda sendiri, sang pengendali
waktu. Sang penjelajah kosmos.
Saya menyarankan agar setiap orang di Indonesia
mengenakan jam tangan. Mulai dari kanak-kanak sampai
kakek, kenakan jam tangan. Mulai dari mereka yang
tercekat hampir mati dalam kemiskinannya, hingga
mereka yang demikian kaya raya dengan segala gila
hartanya, kenakan jam tangan. Segala gender, kenakan
jam tangan. Mulai mereka yang bekerja dengan
membutuhkan orientasi waktu yang sangat ketat seperti
seorang pengantar pizza hingga pengemis atau
penganggur, kenakan jam tangan.
Lantas anda mungkin bertanya: "Untuk apa pengemis
mengenakan jam tangan? Kalau mengemis mengenakan jam
tangan, orang-orang pasti jadi segan mengasih mereka
uang. Bisa beli jam tangan kok mengemis."
Jawaban saya: hai para pengemis, simpanlah jam tangan
saat kalian mengemis. Bisa disimpan di dalam saku baju
atau tempat lain di tubuh anda. Bagaimanapun, waktu
adalah berharga bagi semua orang. Termasuk bagi
pengemis, gelandangan, atau pengangguran sekalipun.
Anda mungkin bertanya lebih jauh lagi. "Dengan
menganakan jam tangan, bukankah tidak menjamin orang
untuk menjadi tepat waktu memenuhi janjinya?"
Jawaban saya adalah: "Benar untuk saat atau zaman
kini. Ini adalah proyek jangka panjang. Perjuangan
selalu berdarah-darah dan penuh kegetiran, namun
buahnya adalah demikian indah. Dengan pembudayaan
pengenaan jam tangan, maka kita sedang mengarah pada
upaya pembudayaan ketepatan waktu. Dengan melekatkan
sang waktu ke dalam tubuh kita, maka kita juga sedang
melakukan proses penghargaan waktu ke dalam diri dan
budaya kita. Budaya tepat waktu bisa kita perjuangkan.
Dan hal itu harus selalu dimulai dari diri kita
sendiri."
Anda mungkin bertanya lagi: "Lantas bagaimana jika
para penguasa atau sistem tetap saja demikian busuk.
Kereta api dan bis tetap saja telat. Kita berusaha
tepat waktu, namun jika mereka yang berkuasa tidak
melakukannya, maka usaha kita kan jadi sia-sia?"
Jawaban saya: "Jangan remehkan sebuah usaha perubahan
dari bawah. Dari akar rumput. Pada dasarnya rakyat
punya kekuatan dan kuasa, hanya saja kita kurang
mengusahakannya. Artinya, selama ini kita terlalu
mentolerir kelas atas dan kaum berkuasa. Kita diam
saja saat ditindas. Mungkin memang para buruh tak
benar-benar bisa memaksa para majikan mereka bersikap
tepat waktu, membalas ketepatan waktu mereka. Tapi
saat kita membudayakan ketepatan waktu, dengan secara
rutin mengenakan jam tangan dan secara berdisiplin
memandang waktu secara kontinyu, misalnya tiap 15
menit sekali maka kita sedang menohok jantung
hargadiri kaum kaya itu. Coba saja dulu. Perubahan
mungkin bersifat evolutif, kadang tak terlihat sama
sekali. Namun coba kita lihat selam 5 tahun. Dalam
jangka waktu itu, perubahan peradaban bisa saja
terjadi. Dengan demikian drastis dan mengejutkan"
Anda bertanya: "Jadi kita perlu juga menuntut kelas
atas untuk bersikap tepat waktu?"
Jawaban saya: "Demikianlah. Bukankah hal itu adalah
sebuah usaha dekonstruksi juga atas sistem kekuasaan
yang ada? Kita juga sedang secara aktif berusaha untuk
merubah budaya kita menjadi lebih baik. Saat kelas
bawah ternyata terbukti lebih tepat waktu dibandingkan
kelas atas, maka kita sedang menjungkirkan dunia. Saat
ukuran kenyataan dunia terjungkir, maka kekuasaan pun
akan terjungkir."
Anda bertanya lagi: "Apakah jadinya jika bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang tepat waktu?"
Jawaban saya: " Kita lihat. Bangsa Jerman, Swiss,
Belanda, dan Jepang adalah bangsa-bangsa yang demikian
tepat waktu. Bangsa-bangsa itu juga termasuk
bangsa-bangsa yang paling sejahtera di dunia, dengan
segala keterbatasan kondisi alam mereka. Saya pernah
melihatnya sendiri. Saya pernah pergi ke Jerman dan
Swiss, dan melihat betapa tetap waktunya mereka. Saya
waktu itu hendak naik kereta. Jadwal kedatangan kereta
api adalah jam 08.00.00. saat jam di stasiun di Swiss
itu menunjuk angka 07.58.00, kereta api mulai memasuki
stasiun. Saat jam menunjuk angka 07.59.00, kereta
mulai melambat di depan saya. Saat jam menunjuk angka
07.59.30 kereta mendesis dan mengerem keras. Saat jam
menunjuk angka 07.59.55, kereta benar-benar hampir
berhenti. Dan kereta benar-benar berhenti dan membuka
pintunya untuk saya saat jam di stasiun tersebut
bergerak tak-tak ke angka 08.00.00. Benar-benar
ketepatan yang ukurannya adalah detik, bukan lagi
menit. Saya pada waktu itu demikian kagum, sekaligus
nelangsa, mengingat bangsa saya yang ramah tamah dan
berbudaya adiluhung ini. Peristiwa seperti ini selalu
saja terjadi di sana. Saya beberapa kali mengamatinya,
sampai kemudian benar-benar menjadi bosan dan menerima
dengan pasrah kenyataan tersebut."
Saya tak bersedia pasrah melihat bangsa saya
menderita. Maka saya membuat kampanye penggunaan jam
tangan secara masif. Demikianlah sikap saya ini.
Semoga dimengerti.

____________________________________________________________________________________
Be a better friend, newshound, and
know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ

Tidak ada komentar:

SiteSearch Google

Google