Senin, 03 Desember 2007

Kondom Menyelamatkan Peradaban

Berdasarkan catatan sejarah dan arkeologi
kesehatan, kondom merupakan salah satu piranti
pengaman bagi hubungan seksual yang tertua. Pada awal
kehadirannya, kondom dibuat secara manual dan
eksklusif dari usus biri-biri yang diolah secara
sangat berhati-hati. Piranti pengaman hubungan seksual
tersebut konon bisa digunakan lagi setelah dicuci dan
direndam dalam larutan susu panas. Sifatnya yang
eksklusif mengindikasikan betapa kesadaran tentang
pentingnya seks yang aman memang selalu hadir
pertama-tama pada kalangan yang terpelajar dan mampu
secara ekonomi.
Pada zaman kini pun kesadaran tentang pentingnya
kondom bagi peri kehidupan seks masih hadir terutama
di kalangan menengah ke atas. Di kalangan menengah ke
bawah kesadaran tentang pentingnya kondom masih sangat
rendah. Hal ini merupakan hal yang wajar, karena biar
bagaimanapun juga harga kondom masih belum benar-benar
terjangkau oleh masyarakat kecil, sementara
ketersediaannya juga terbatas. Masyarakat menengah
bawah juga merupakan korban utama dari berbagai mitos
dan image buruk yang sengaja maupun tidak sengaja
melekat pada berbagai peralatan modern, termasuk di
dalamnya piranti pengaman hubungan seksual seperti
kondom.
Sejak awal kehadirannya, kondom dirancang demi
pemenuhan dua kebutuhan yang sangat penting bagi
peradaban:
1. mencegah penularan penyakit kelamin.
2. untuk mengatur tingkat kelahiran
Meski sejak awal kehadirannya kondom sudah menuai
berbagai kontroversi dan penolakan, namun bukti-bukti
fungsionalitasnya tak terbatahkan dalam berbagai
catatan sejarah maupun pembuktian ilmu kedokteran
maupun biologi modern. Oleh sebab itu, pemilihan
kondom selalku piranti kesehatan seksual yang paling
utama di dunia adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa
dibantah oleh sanggahan apapun juga. Ia sudah berubah
menjadi sebuah dictum, hukum alam yang terbukti sahih
dan memiliki serta mengendalikan patokan moralitasnya
secara mandiri.
Persoalan kependudukan kini menjadi ancaman yang
luarbiasa bagi peradaban global, ditambah dengan
berbagai ancaman bencana yang menghadang seperti
kelaparan, gagal panen, pemanasan global, desertisasi,
dan sebagainya. Jumlah penduduk dunia yang membengkak,
ditambah dengan hadirnya berbagai penyakit baru, serta
meruaknya kerusakan alam yang menyertainya, membuat
nilai penting kondom meningkat artinya bagi PBB,
lembaga-lembaga kesehatan dunia, serta berbagai
organisasi kemasyarakatan independen lainnya.
Sayang sekali, program KB serta kampanye seks yang
aman di Indonesia saat ini justru mengalami kemunduran
drastis. Hal ini karena sistem penyadaran top down
yang diterapkan pada zaman Orde Baru tiba-tiba runtuh
seketika bersama dengan bergantinya rezim berkuasa.
Ada kecenderungan hadirnya semangat penolakan yang
membabi buta dari masyarakat pada berbagai program
peninggalan Orde Baru, walau sebenarnya banyak juga
dari program-program pemerintah di kala itu yang
sungguh baik, penting, dan masih demikian relevan
dengan realitas masyarakat Indonesia yang ada kini.
Selain itu berbagai krisis dan bencana yang menghantam
secara bertubi-tubi juga membuat fokus pemerintah dan
masyarakat Indonesia semakin bergeser pada isu-isu
politik praktis serta ekonomi.
Kekeliruan terbesar dari Orde Baru adalah terbatasnya
fokus KB terutama kepada kaum ibu, terutama lewat pil
KB dan Spiral. Sementara peran serta bapak-bapak lewat
kondom sangatlah terbatas. Hal ini patut dimaklumi
karena di era tersebut, kasus-kasus penularan penyakit
menular seksual masih belum diungkap secara terbuka.
Orde Baru dan masyarakat awam saat itu masih memandang
bahwa penggunaan kondom hanya penting bagi mereka yang
hendak melakukan seks yang tidak aman saja.
Pemerintah Orde Baru juga terlambat menyadari bahwa
HIV-AIDS akan menjadi epidemi global yang akan melanda
seluruh dunia tanpa kecuali. Hal ini karena keyakinan
mitologis atas hubungan linier antara nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia dengan kemampuannya menangkal
kehadiran HIV-AIDS. HIV-AIDS saat itu masih dipandang
merupakan akibat langsung dari budaya seks bebas gaya
barat serta hubungan homoseksualitas. Sisa-sisa
keyakinan dan mimpi mitologis seperti itu sebenarnya
belumlah sepenuhnya hilang. Pandangan itu justru makin
menguat, terutama di kalangan konservatif di
Indonesia.
Kaum konservatif ini saat ini semakin menguat posisi
politiknya dan secara konstan mendapatkan angin
pembenaran di masyarakat Indonesia yang majemuk namun
demikian terikat pada patokan moral baku. Mereka
berhasil menempatkan posisinya dalam berbagai sektor
kebijakan publik, baik di pusat maupun daerah, dan
menciptakan berbagai peraturan yang semakin mengekang
kebebasan berekspresi. Efeknya, problem-problem
kesehatan seksual juga terhambat untuk diatasi.
Watak elemen konservatif yang kurang bersimpati pada
KB serta peralatan pengaman hubungan seksual membuat
kampanye kondom di Indonesia benar-benar mendapat
tantangan besar. Boleh dikatakan, saat ini terdapat
pemilahan dan pertentangan yang kuat antara elemen
konservatif dan elemen liberal di Indonesia, meski
kaum liberalnya masih cenderung takut membela dirinya
sendiri, cenderung menyembunyikan diri, dan selalu
menghindari kontak konflik secara langsung. Sikap kaum
konservatif ini juga sangat buruk kepada kaum PSK,
yang mereka pandang merusak moral masyarakat. Kerap
kita lihat di koran berbagai berita penggerebegan
tempat mangkal PSK secara semena-mena oleh ormas-ormas
konservatif.
Pertentangan ini memang belum benar-benar dinyatakan
dalam sebuah perdebatan publik atau benturan bentrokan
masif, yang bisa bermuara pada pencapaian sebuah arah
dan tujuan peradaban yang solid dan baru bagi
Indonesia. Yang ada saat ini adalah sebuah kompromi
peredaman, yang pada gilirannya membuat semua jenis
bentuk kampanye, baik kampanye konservatifisme maupun
kampanye peradaban modern (termasuk di dalamnya
persoalan peralatan kontrasepsi) harus benar-benar
saling berkompromi. Kaum konservatif tidak benar-benar
bersuara lantang menolak kontrasepsi, sementara kaum
liberal dan demokratis juga tak berani mengkampanyekan
seks aman secara masif.
Korbannya adalah kaum PSK maupun pelaku seks liberal
yang harus selalu bersembunyi-sembunyi, bersikap
munafik/menutup-nutupi realitas diri agar tidak dan
dikejar-kejar oleh hukum daerah maupun nasional.
Akibatnya mereka kesulitan mengakses alat-alat
kontrasepsi, sehingga tingkat penularan penyakit
menular seksual di Indonesia jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan di negara-negara barat yang
liberal.
Pemerintah serta elemen aparatus negara tingkat daerah
terlihat hanya menjalankan peran kampanye kondom, seks
aman, serta bahaya HIV-AIDS di saat-saat tertentu
saja, terutama di saat hari HIV-AIDS internasional
yang hanya terjadi satu kali setahun saja. Mode
kampanye seperti ini tak ubahnya seperti upacara
bendera, sehingga terancam hanya tinggal menjadi
sebuah ritus belaka yang hampa.
Saat sebuah isu penting hanya menjadi sebuah ritus,
maka ia kehilangan elan vitalnya. Jika sebuah
kebutuhan sehari-hari dan nyata hanya tertinggal
sebagai mitologi dan bentuk totemik saja, ia akan
tenggelam dan ter-deformasi di dalam alam bawah sadar
masyarakat. Ia akan berubah menjadi sebuah mitologi,
legenda, bahkan karnaval yang tak lagi benar-benar
difahami. Ia menjadi sebuah wahana tumpahan perasaan
dan kesadaran sesaat saja di sebuah arena perayaan.
Hal ini sangatlah berbahaya, karena keterlenaan
tersebut membuat tujuan agung kampanye penggunaan
kondom tak lagi ampuh dijalankan. Ia hanya sebuah
simbol, yang biasanya digunakan untuk menghibur diri,
berpaling dari realitas yang ada yang sebenarnya
sungguhlah mengerikan.
Akibatnya kita bisa melihat di masyarakat saat ini,
kampanye HIV-AIDS dan pentingnya seks yang aman serta
peran penting kondom masih lebih banyak dilakukan oleh
kaum elit, yang masih bergantung penuh pada dukungan
keamanan dari pemerintah. Tanpa hadirnya sebuah event
khusus yang didukung pemerintah, kampanye seks yang
aman kadang berpotensi berbenturan dengan kelompok
sipil konservatif dalam masyarakat.
Hal ini sungguh kontras dengan tuntutan zaman yang
menghadang manusia saat ini. Realitas ngeri yang ada
jika KB serta pemanfaatan piranti seks aman sepeti
kondom tak dijalankan penuh oleh masyarakat dunia
adalah sangat jelas: peningkatan jumlah penderita
HIV-AIDS serta penyakit menular seksual lainnya, serta
peledakan jumlah penduduk. Hal ini adalah bentuk
bencana global lain karena ulah manusia selain
pemanasan global.
Pada saat ini, ada sebuah euforia dimana banyak orang
merasa HIV-AIDS sudah bukan lagi hal yang menakutkan.
Tren seks bebas yang tak aman dan pemanfaatan jarum
suntik secara bersama kembali marak dilakukan. Hal ini
tidak seperti zaman tahun 80-an dan 90-an di saat
masyarakat dunia panik akan wabah HIV-AIDS. Pada tahun
80-an dan 90-an, terjadi tren penurunan perilaku seks
bebas. Hadirnya obat retroviral yang bisa mengurangi
angka kematian penderita HIV-AIDS membuat masyarakat
kelas menengah dunia terlena. Padahal obat-obatan
retroviral bukanlah pemecahan sempurna bagi HIV-AIDS.
Obat-obatan retrovitral hanya berfungsi menghambat
penyebaran virus HIV dalam tubuh saja. Masyarakat
dunia belum menyadari bahwa sistem pengobatan modern
belum bisa mengobati penyakit akibat inveksi virus.
Apalagi, tren HIV-AIDS adalah bersifat seperti gunung
es. Yang nampak dan disadari oleh publik tidak sama
seperti realitasnya. Banyak orang dengan HIV-AIDS yang
tidak menyadari kondisinya, baik karena segan maupun
takut untuk memeriksakan diri ke dokter ataupun rumah
sakit, maupun karena ketidakmengertian karena
kurangnya pengetahuan dan informasi. Buruknya lagi
masyarakat umum (termasuk kaum terpelajarnya) masih
memandang bahwa HIV-AIDS hanya diderita oleh kaum gay
maupun penyalahguna narkotika suntik saja.
Kenyataan membuktikan bahwa kasus HIV-AIDS di dunia
ketiga dan negara miskin seperti di Afrika, India, dan
Bangladesh justru makin meningkat. Sebab-sebabnya
adalah demikian kompleks, sehingga identifikasi
HIV-AIDS dengan seks yang tak aman serta berbagi
jarum suntuk narkotika tidak lagi mencukupi untuk
menjelaskannya. Kini boleh dikatakan siapapun saja
bisa terkena HIV-AIDS, terutama di negeri-negeri
bencana AHIV-AIDS tersebut.
Globalisasi liberal dalam kenyataannya makin
memiskinkan negeri-negeri miskin tersebut, dan budaya
konsumerisme ghlobal justru makin memencilkan mereka
dari arus peningkatan akses dan mutu pelayanan
kesehatan global. Masyarakat di sana tidak memiliki
akses yang memadai terhadap obat-obatan maupun
perawatan kesehatan yang baik, sehingga dijumpai
kenyataan yang demikian pahit bahwa tingkat inveksi
HIV di wilayah-wilayah tersebut sangat tinggi namun
hampir mustahil terdeteksi final dan tertangani. Ada
beberapa negara di Afrika yang tingkat penderita
HIV-AIDS mencapai hampir separuh penduduknya.
Negara-negara seperti itu berpotensi menjadi negeri
yang gagal dan kolaps.
Saat ini kesulitan ekonomi dunia, bahaya bencana
pemanasan global, dan berbagai jenis konflik global
(misalnya isu terorisme) membuat kepedulian masyarakat
dunia kepada dunia Afrika dan negeri-negeri miskin
lainnya menjadi berkurang drastis. Masyarakat miskin
dunia seakan ditinggalkan sendirian untuk mati merana.
Dunia ada dalam situasi bencana ketidakpedulian dan
egoisme global.
Oleh sebab itu fokus dasar bagi peradaban dunia saat
ini sebenarnya sangatlah jelas yaitu bagaimana bisa
meredam pertambahan penduduk dunia yang semakin hari
semakin tak terkontrol ini, sekaligus meningkatkan
kualitas kesehatan umum, menata perikehidupan dunia
yang adil, dan menemukan sistem perilaku manusia yang
lebih ramah lingkungan. Jika semua prasyarat tersebut
terpenuhi, maka niscaya keruwetan dunia selama ini
akan terhapuskan. HIV-AIDS merupakan salah satu elemen
persoalan kesejahteraan dan kesehatan global tersebut.
Oleh sebab itu, keberlanjutan sistem pengendalian
penduduk dan pengendalian penyakit yang murah adalah
sebuah keniscayaan. Dalam posisi inilah, kondom
menempati rangkingnya yang tinggi.
Posisi kondom di sini kemudian menjadi demikian unik,
karena secara sangat tak terduga ia menempati peran
sentralnya selaku piranti perdamaian dunia. Perdamaian
dunia, sebenarnya hanya mungkin jika manusia-manusia
di dunia bisa mendapatkan ruang geraknya yang lebih
bebas. Pengurangan jumlah penduduk dunia, peningkatan
kebebasan ekspresi seksual, serta tingkat kesehatan
yang meningkat secara simultan akan meningkatkan
potensi usaha menuju terciptanya perdamaian dunia yang
hakiki.
Secara teoritis seharusnya kondom bisa menjadi salah
satu sumbangan dari dunia pertama kepada dunia ketiga.
Sumbangan tersebut bisa berbentuk langsung seperti
penerjunan langsung berton-ton kondom kepada
masyarakat yang sedang tertimpa bencana kesehatan
maupun kelaparan, sumbangan mesin dan peralatan pabrik
pembuat kondom bagi dunia ketiga, serta berbagai
insentif bantuan lainnya.
Indonesia sebenarnya adalah negara yang sangat
berpengalaman dalam pembuatan kondom. Teknologi
perusahaan-perusahaan kondom Indonesia termasuk salah
satu yang terbaik di dunia. Hal ini karena posisi
sentral Indonesia sebagai penghasil karet alami
berkualitas tinggi. Meskipun masih kalah dibandingkan
dengan Malaysia, namun produk-produk karet alami
Indonesia kulaitasnya jauh lebih baik.
Sementara itu pabrik-pabrik kondom di Indonesia juga
telah sejak lama berpengalaman dalam pembuatan kondom
yang baik, liat, dan tahan bocor. Persoalan yang masih
dialami oleh pabrik-pabrik kondom di Indonesia justru
adalah belum adanya insentif pemerintah dalam
mendukung industri kondom di Indonesia. Sebenarnya
insentif itu sangat penting, seperti pengurangan
pajak, kemudahan ekspor, serta dukungan promosi di
dunia internasional.
Kondom Indonesia konon terkenal karena tidak mudah
terkoyak, sehingga banyak dimanfaatkan oleh para
tentara barat untuk menutupi moncong senjata api
mereka dari bahaya intrusi debu, lumpur, dan air. Hal
tersebut sungguh ironis. Kondom yang dirancang dengan
tujuan yang sangat mulia, ternyata juga bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan perang dan
keberlanjutan konflik global.
Hal ini disebabkan sifat alami teknologi kondom yang:
1. sederhana
2. murah
3. sangat kuat
4. aman
Teknologi pembuatan kondom sangatlah murah dibanding
dengan teknologi obat-obatan pil KB, spiral, suntik KB
dan sebagainya. Bila suntik KB dan pil berpotensi
menimbulkan efek samping kekacauan hormonal bagi kaum
perempuan, maka kondom sama sekali aman karena
sifatnya yang berbahan alami dan dipakai di bagian
luar tubuh (penis).
Pembuatan kondom juga termasuk sangat murah, apalagi
bagi negeri penghasil karet yang sangat besar seperti
Indonesia. Jika kondom bisa diproduksi massal dalam
sebuah negara, dengan insentif yang kuat, dan
dukungan-dukungan industrial lainnya, maka harganya
akan bisa dijangkau bahkan oleh golongan masyarakat
yang paling miskin. Untuk mendukung semuanya, maka
pemerintah seharusnya meningkatkan kampanye
pembudayaan kondom bagi keluarga dan kaum remaja.
Kelebihan kondom adalah tingkat tata pelaksanaan
produksi serta tujuan pasarnya yang sungguh luas.
Kondom bisa dibuat generik dan murah, namun kondom
bisa dibuat eksklusif dan mewah berbagai variasi
bentuk dan rasa. Dengan rentang harga yang besar dan
fasilitas yang beragam pula, maka kondom sebenarnya
bisa menjangkau segmen yang sangat luas di masyarakat.
Kondom yang beraneka ragam bentuk dan rasanya
memberikan keleluasaan bagi berbagai jenis ekspresi
dan kebutuhan variasi dalam hubungan seksual dalam
masyarakat. Jadi, stigma bahwa pemakain kondom akan
mengurangi kenikmatan bersenggama adalah tidak
selamaya tepat. Berbagai teknologi seperti pembuatan
kondom yang super tipis akan membuat kaum lelaki
penggunanya bisa menikmati gesekan vagina secara
optimal.
Kondom-kondom dengan berbagai citarasa juga akan
membuat mereka yang menyukai oral seks bisa lebih
menikmatinya. Dengan memakai kondom bercitarasa,
penyuka oral seks bisa menikmati citarasa yang nikmat
tanpa harus perlu takut terkena cipratan sperma saat
ejakulasi terjadi. Demikian juga dengan produksi
kondom bergerigi, berambut, berpola garis, dan
sebagainya bisa lebih memuaskan konsumen-konsumen yang
membutuhkannya. Hal-hal tersebut membuktikan betapa
kondom justru bisa meningkatkan kualitas hubungan
seksual masyarakat.
Tingkat kebocoran kondom juga sangatlah rendah,
karena bahan asalnya yang secara alami memang sangat
kuat. Boleh dikatakan, kondom reguler yang termurah
sekali pun tingkat keamanannya sangatlah tinggi.
Kondom juga bisa diberi kandungan zat-zat pencegah
kehamilan, bahkan suatu saat kondom bisa juga diberi
kandungan khusus berupa obat-obatan antiviral luar.
Bagi kaum homoseksual, kondom juga mengurangi potensi
luka di anus akibat gesekan saat bersenggama secara
sodomi. Penelitian-penelitian medis menyatakan bahwa
penularan HIV-AIDS yang terbesar di kalangan
homoseksual terutama diakibatkan adanya pertukaran
virus HIV akibat kontak luka terbuka di dinding anus.
Kondom terbukti juga meningkatkan peran serta pria
bukan hanya dalam kontrasepsi (pengaturan jumlah
kelahiran) saja, namun dalam upaya global mengerem
tingkat penularan penyakit menular seksual. Peran kaum
lelaki tersebut sangatlah penting, karena
keikutsertaan aktif seluruh elemen gender dalam
Kelauarga Berencana, perilaku seks yang aman, dan
penanggulangan HIV-AIDS membuat gerakan itu lebih
nyata dan berarti.
Namun demikian persoalan kondom berkait dengan
permasalahan yang lebih besar di masyarakat, yaitu
soal nilai-nilai moral dan penerapannya.
Fakta-fakta lapangan emnunjukkan bahwa sebab-sebab
utama masih kurangnya penggunaan kondom di Indonesia:
Kondom mendapatkan nama dan stigma buruk disebabkan
oleh adanya proses pembentukan tabu yang mendalam dan
bersifat budayawi. Dalam hal ini, beban sejarah, nilai
ketat religi, moralitas sosial, tatanan sopan santun,
mitos-mitos keliru, serta jurang pemisah kaum marginal
dan borjuis, saling berkaitan dan selalu menimbulkan
ketegangan.
1. Dalam masyarakat tradisional dan puritan, pemakaian
kondom ditabukan. Hal ini karena kepercayaan bahwa
kedatangan seorang anak adalah berkah yang tak boleh
ditolak. Menghalangi pembuahan berarti menghalangi
kuasa tuhan.
2. Dalam masyarakat tradisional dan puritan,
seksualitas di luar nikah adalah dilarang. Oleh sebab
itu keberadaan kondom adalah tidak perlu bahkan harus
dilarang. Legalisasi penggunaan kondom, berarti juga
legalisasi persetubuhan di luar nikah.
3. Dalam masyarakat peralihan seperti Indonesia, masih
ada rasa malu dari para pelaku liberalisme seks untuk
menampakkan sisi kebebasan seksualnya. Biasanya para
pelaku seks bebas masih bersikap munafik, menyatakan
di publik bahsa mereka adalah figur yang tidak pernah
melakukan aktifitas seks pranikah. Banyak orang yang
masih malu membeli kondom secara terbuka di warung,
karena takut dianggap berperilaku seks bebas.
4. Toko-toko maupun warung-warung segan menjual kondom
karena potensi digerebeg oleh kelompok tertentu.
Selain itu harga kondom yang cenderung mahal membuat
mereka juga segan menjual di sana karena jarang laku.
5. Masih dianggapnya PSK selaku sampah masyarakat.
Karena pandangan ini, kampanye penggunaan kondom oleh
pemerintah sangat terhambat untuk bisa memasuki ruang
kehidupan mereka. Hukum positif Indonesia secara tegas
masih mengkriminalisasikan mereka, sehingga para PSK
selalu takut pada kehadiran aparat. Pada dasarnya
pemerintah dan masyarakat masih tidak peduli bahkan
cenderung menyisihkan para PSK ini dari kehidupan
sosial yang normal dan alami.
6. Kaum PSK banyak yang malas menawarkan penggunaan
kondom bagi pelanggan mereka, karena biasanya ditolak
oleh pelanggan. Hal ini karena anggapan bahwa kondom
membuat hubungan seks kurang terasa enak.
7. Masyarakat masih menganggap bahwa HIV-AIDS serta
penyakit menular seksual lainnya merupakan hukuman
Tuhan terhadap perilaku seks bebas ataupun menyimpang.
Masyarakat masih sedikit yang mau bersimpati pada
korban. Mereka justru lebih sering menyalahkan para
korban tersebut.
8. Masyarakat penderita HIV-AIDS dan penyakit menular
seksual lainnya biasa menyembunyikan fakta kondisi
penyakitnya, sehingga keberadaannya tidak mudah
dijangkau oleh petugas kesehatan.
9. Masyarakat masih menyepelekan bahaya penyakit
menular seksual. Mereka masih berkeyakinan, bahwa
penyakit hanya bisa datang pada orang lain saja.
Oleh sebab itu, sebelum kita bisa mengembangkan
budaya pemakaian kondom di masyarakat, ada 3 syarat
terpenting yang harus dipenuhi dalam sebuah
kebudayaan, yaitu
1. sekularisme
2. liberalisme
3. keterbukaan informasi
Tanpa terpenuhinya 3 prasyarat tersebut maka
pembudayaan kondom di masyarakat merupakan sebuah
kemustahilan besar. Tanpa adanya 3 prasyarat tersebut,
kampanye kondom bisa saja terus dilaksanakan, namun
hasilnya akan sangat terbatas. Produsen-produsen
kondom hanya akan menikmati margin keuntungan sesuai
dengan batas alami konsumsi obat-obatan saja.
Dengan barrier budaya seperti itu, kondom bisa jadi
tetap akan bertahan dalam posisinya sekarang, yaitu
sebagai piranti kesehatan, bukan piranti kehidupan
sehari-hari. Kita bisa mengeceknya dengan survey yang
sangat mudah, yaitu menanyakan di manakah orang-orang
menyimpan persediaan kondom mereka. Jawaban yang
terbesar umumnya adalah: kami tak menyimpan kondom.
Sementara untuk jawaban mereka yang menyimpan kondom,
biasanya mereka menyimpan kondom mereka di kotak obat
mereka. Belum banyak lelaki atau perempuan yang secara
bertanggung jawab menyimpan kondom dalam dompet atau
tas kerja mereka.
Indonesia adalah tempat yang paradoks dalam hal seks.
Seks merupakan warisan leluhur yang sangat mendalam
difahami, namun pada era modern sekarang tiba-tiba
seks menjadi alat yang disangkal. Walau kenyataan ada
di mana-mana, di kafe, di mall, di bar, di kos-kosan,
di pemukiman kumuh maupun mewah, bahkan di
institusi-institusi, namun semuanya disangkal atas
nama moralitas. Nilai-nilai kemunafikan seperti ini
sebenarnya menggiring kita pada kemunafikan yang lebih
besar, yaitu bagaimana kita memandang harkat dan
martabat manusia.
Mereka yang memandang tinggi harkat dan martabat
manusia akan berjuang sekuat tenaga agar orang lain di
sekelilingnya bisa menjadi lebih baik dan sejahtera.
Ia akan lebih memiliki simpati dan empati dibandingkan
dengan dorongan ego dan moralitas sempit. Ia akan
lebih bisa menerima perbedaan, bahkan misalkan hal-hal
yang ia temui ternyata bertentangan dengan nilai-nilai
kebenaran egoistik yang ia miliki.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah dalam upaya
mentradisikan penggunaan kondom di lingkungan sosial:
1. Memberikan insentif pengurangan pajak pada para
produsen kondom
2. Kampanye yang bersifat aktif dan terus menerus di
masyarakat tentang guna kondom
3. Penjualan massal kondom generik, seperti misalnya
meningkatkan jumlah ATM kondom di berbagai tempat
perbelanjaan
4. Mengajak para pedagang kelontong untuk menjual
kondom, misalnya dengan memberi insentif diskon harga.
5. Melakukan kampanye seks yang aman secara jujur dan
sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan, bukan yang
hanya didasarkan pada kaidah moral saja.
6. Mendekriminalisasikan PSK.
7. Mendekriminalisasikan liberalisme di lingkungan
publik maupun privat.
Apa yang perlu dilakukan masyarakat adalah:
1. Penghargaan terhadap orang dengan HIV-AIDS
2. Penghargaan dan perhatian masyarakat terhadap para
PSK
3. Penghargaan terhadap perilaku seks yang lebih bebas
4. Makin aktifnya masyarakat dalam kampanye HIV-AIDS
5. Meningkatkan penggunaan kondom dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat.
Dengan usaha-usaha keras dan jujur tersebut,
maka kita bisa mengharapkan terciptanya masyarakat
Indonesia yang sehat dan sejahtera di masa depan. Hal
tersebut tentu saja tidak akan terlihat secara instan,
namun terjadi secara bertahap dan terbukti dalam
pergulatan sejarah yang panjang. Masa depan adalah
milik para generasi muda kita, oleh sebab itu
orientasi kehidupan juga harus selalu mengarah ke
depan dengan mengarusutamakan pandangan-pandangan
hidup yang juga modern dan optimistis. Kondom, akan
tercatat dalam tinta emas sejarah menjadi salah satu
penyelamat kehidupan manusia.

____________________________________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?
Find them fast with Yahoo! Search.

http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

Tidak ada komentar:

SiteSearch Google

Google