Selasa, 27 November 2007

Kerasukan Massal di Indonesia dan Cara Mengatasinya

Kerasukan massal kini telah menjadi gejala umum di Indonesia. Fenomena tersebut muncul secara serentak setelah tahun 1997. Korbannya terutama adalah anak-anak perempuan yang tengah mengikuti kegiatan persekolahan.
Banyak teori yang mencoba mengulas fenomena tersebut, mulai dari yang memperkirakan adanya tekanan stress dari anak-anak dalam menghadapi perikehidupan persekolahan, kekurangan gizi, fenomena psikologi kerumunan/massa, hingga tuduhan langsung kepada mahluk gaib yang merasuk ke anak-anak remaja tersebut.
Saya percaya bahwa sebab musabab sesuatu fenomena merupakan gabungan dari berbagai hal, yang sebenarnya bisa saja dikaitkan dengan seluruh elemen realitas yang mungkin. Cara pandang seperti itu sangat bagus, meski sangat sulit dan rumit. Kelemahan cara pandang seperti itu adalah sudut kritisnya yang terlalu melebar. Dengan hasil pemakluman yang terlalu banyak.
Di sisi lain ada banyak fanatisme sempit dari para pengamat dan analis kerasukan. Mereka yang fanatik terhadap iptek percaya bahwa gejala-gejala kerasukan bisa diterangkan total oleh analisis medis. Analis sosial yang fanatik sungguh percaya pada sebab patologi sosial, budaya kerumunan, maupun beban spikososial lain yang diderita anak-anak. Sementara itu para paranormal dan kaum agamis bersikukuh bahwa sebabnya adalah adanya mahluk gaib yang merasuk.
Sebagai seorang antropolog, kitikus sosial, dan praktisi penyembuhan alternatif, saya hendak menyorot pada satu fokus saja, yaitu tentang elemen mahluk gaib yang merasuk ke anak-anak tersebut.
Fenomena kerasukan itu secara unik dan eksklusif terjadi di Indonesia. Seakan Indonesia adalah gudang kerasukan massal. Padahal, kerasukan sangat jarang dialami oleh masyarakat barat, Cina, India, Asia Tenggara yang lain, atau Afrika. Tentu terkecuali untuk para medium dan cenayang yang memang sering menggunakan metode kerasukan dalam praktik mereka, serta di festival-festival khusus seperti festival Voodoo di Haiti dan New Orleans, Thaipusam, Trance-Dance, dsb. Di festifal-festifal itu, kerasukan dilaksanakan secara metodis, terkontrol, dan aman.
Sebenarnya kerasukan terkontrol dan metodis sejak zaman dahulu kala dikenal luas di Indonesia, seperti fenomena Jathilan, Angguk, Jaran Kepang, berbagai festifal dalam budaya Dayak, tari keris di Bali, sistem meditasi tertentu, atau bahkan praktek-praktek modern seperti berjalan di atas api pada latihan self-hipnotisme di berbagai sekolah-sekolah hipnotis elit di ibukota.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa para mahluk halus itu seakan mengamuk? Saya menemukan satu fakta jelas dan gamblang betapa menderitanya mahluk halus di Indonesia modern.
Di Indonesia, tak hanya rakyat kecil saja yang digusur, tetapi juga para mahluk gaib. Umumnya para penggusur mahluk gaib itu dengan girang memandang bahwa penangkapan dan penggusuran para mahluk gaib itumerupakan sebuah kemenangan manusia yang beriman terhadap para mahluk gaib yang jahat dan mengganggu. Di luar faktor klaim kebenaran religius yang sangat sensitif dan kadang sangat beringas sifatnya di Indonesia, toh efek sosial dari penggusuran itu adalah nyata, yaitu bentuk-bentuk perlawanan. Jika rakyat kecil mencoba sekuat hati melawan saat gerobak asongan, atau rumahnya digusur oleh Trantib, maka para mahluk halus pun mencoba sekuat hati untuk melawan saat wilayah mereka diacak-acak dan digusur oleh manusia. Para mahluk gaib miskin itu mencoba melawan, walau akhirnya tetaplah kalah.
Para penggusur dan penangkap mahluk halus itu terlihat sangat jumawa saat berhasil menaklukkan, menggusur, atau membunuh mahluk halus. Sebenarnya sejauh apa sih kesaktian mahluk halus itu? Sebenarnya kesaktian mereka biasa-biasa saja. Seperti halnya manusia, ada manusia yang demikian berkuasa, kaya-raya dan pandai. Namun di bawah pijakan/injakan minoritas manusia yang beruntung tersebut, terdapat segolongan besar manusia yang miskin, menderita, kelaparan, terus mencoba bertahan hidup dari hari hari ke hari atau bahkan detik ke detik. Demikian juga halnya dengan mahluk gaib. Di samping mahluk gaib yang hebat dan sakti, terdapat bermilyar-milyar mahluk gaib yang miskin, merana, dan mencoba sekedar bertahan hidup dari hari ke hari dan dari detik ke detik.
Mereka yang berhasil menaklukkan, menghancurkan, menindas, dan membunuh mahluk gaib itu tak layak kita puji-puji. Apakah kita hendak memuji Hitler, Slobodan Milosevic, atau Pol Pot? Apakah hebatnya menghancurkan mereka yang miskin, lemah, dan tak berdaya? Sebagai mahluk yang memiliki teknologi dan tingkatan intelektualitasnya jauh lebih tinggi daripada hewan maupun mahluk halus, manusia seharusnya tidak bersikap rasis kepada mahluk lain yang lebih lemah. Kita harus belajar dari sejarah, bahwa rasisme, apartheid, fasisme, dan kekerasan terhadap masyarakat kecil/miskin hanya akan melemahkan dan menghancurkan suatu peradaban itu sendiri.
Ada sebuah kasus di Jakarta dimana sesosok mahluk gaib mencoba mempertahankan pohon kediamannya yang hendak diterjang jalur busway. Ada masyarakat yang bersimpati pada mahluk hidup itu, dan memberinya kain kotak-kotak, sekedar menghormati dan menyantuni perikehidupan mahluk gaib itu. Namun akhirnya pohon itu justru dibakar habis oleh massa yang menganggap pohon itu berhala. Peristiwa itu sebenarnya tak jauh berbeda dengan kasus-kasus umum dimana ada sebuah keluarga yang bersikukuh mempertahankan rumah mereka dari penggusuran pengusaha real estate. Rakyat kecil itu dengan sia-sia mempertahankan pondok gubug mereka sendirian, sementara massa Trantib berfihak kepada para penguasa dan pengusaha, membuldozer dan membakar pondok itu. Rakyat kecil kalah, pergi, atau mati. Mahluk halus kalah, pergi, atau mati. Sama saja.
Peristiwa-peristiwa kerasukan yang tidak terkontrol muncul sejak medio akhir 90-an, diawali dengan krisis moneter di Indonesia. Selain efek kesulitan hidup yang dialami bangsa ini, muncul sikap tidak toleran yang meluap-luap pada peri kehidupan ke seluruh sendi kehidupan. Masyarakat Indonesia menjadi semakin lemah empati dan simpatinya pada masyarakat lain yang menderita (termasuk pada mahluk gaib). Fundamentalisme menguat, dan mengaduk-aduk kestabilan gaib dalam masyarakat. Berbagai praktek penghormatan pada punden-punden, tempat gaib, pemberian sesajen pada berbagai pohon besar dan pusaka, menjadi tindakan yang tidak lagi favorit, bahkan menjurus menjadi praktek yang dianggap tabu dan memalukan. Siaran-siaran sinetron di TV secara gamblang memfasilitasi kampanye anti penghormatan pada mahluk gaib liar itu, mulai dari sinetron yang menjelek-jelekkan sosok dukun, serial penangkapan dan pengusiran mahluk gaib, serta berbagai kampanye yang bersifat memihak pada kelompok kepercayaan tertentu saja. Satu hal utama yang semakin kentara, yaitu meluasnya sikap semena-mena masyarakat Indonesia terhadap para mahluk gaib.
Zaman dahulu kala, kehadiran mahluk gaib diterima secara wajar walaupun kadang dengan takut-takut dan bingung. Dulu kala di lingkungan keluarga, anak-anak sejak dini diberi penerangan tentang bagaimana menghargai mahluk gaib, baik dengan mempertahankan tempat khusus yang tidak boleh diganggu/dirusak, pemberian sesajen, penempelan lambang tertentu, serta berbagai ritual sederhana lainnya. Bagaimanakah situasi penggusuran mahluk gaib di Indonesia kini? Sungguh parah. Boleh dikatakan, telah terjadi genosida/pembunuhan massal secara sistematis terhadap para mahluk gaib itu. Pepohonan besar tempat mereka hidup ditebangi. Lahan-lahan keramat digusur dibuat untuk kepentingan bisnis maupun yang lain. Punden-punden dihancurkan. Patung-patung diberangus, atau diperjualbelikan secara tak terhormat. Budaya memberi sesajen lenyap tak berbekas. Mahluk gaib dibuat barang permainan dalam berbagai acara televisi. Para ahli menangkap mahluk halus leluasa mempraktekkan kegiatan mereka. Efeknya adalah kelaparan hebat dan pengungsian besar-besaran para mahluk gaib ke berbagai wilayah hidup yang lebih buruk (menurut ukuran mereka).
Sungguh pandangan keliru dari masyarakat maupun tokoh-tokoh tertentu yang menganggap keberadaan mahluk gaib mengganggu kehidupan manusia. Juga sungguh keliru pandangan bahwa bergaul dan saling bertenggang rasa dengan mahluk gaib membuat kita menjadi tersesat secara spiritual ataupun agama. Pada dasarnya peri kehidupan yang ideal adalah saling penghargaan yang harmonis bukan hanya antar sesama mahluk hidup saja, tetapi juga pada alam.
Bergaul baik dengan mahluk hidup tidak berarti menyembah atau meminta-minta berkah pada mereka. Memberikan sesajen, sesungguhnya adalah bentuk dana bantuan dan kado, seperti kita memberi dana pada pembangunan panti asuhan atau kado pada teman. Jika kita tidak bisa berteman dan bertenggang rasa pada tetangga kita, bagaimana kita bisa membuat suatu lingkungan yang sejahtera dan aman? Jika kita tak mau menyantuni masyarakat miskin di wilayah tempat tinggal kita, justru menghina dan mengusir mereka, maka apakah kita layak mengharapkan rasa aman? Efeknya, kita selalu membutuhkan para centeng, tukang pukul, petugas keamanan agar para rakyat miskin tak bisa mengganggu kita. Para penangkap mahluk halus itu, adalah para centeng, tukang pukul juga. Apartheid terjadi. Pemisahan ruang hidup pun terjadi. Lantas apakah yang kaya dan berkuasa, bakal menang untuk selama-lamanya? Tidak.
Kekerasan pada mahluk hidup yang lain maupun alam, akan membuat alam menjadi gersang dan pada gilirannya para mahluk itu atau alam akan membalas menyerang kita. Kerasukan massal adalah sebuah gerilya mahluk gaib terhadap kekuasaaan fasistik, apartheid, dan rasialis dari manusia kepada mereka.
Salah satu tugas dari mahluk hidup adalah mengharmonisasikan alam. Beberapa mahluk gaib hebat menjaga gunung, sungai, hutan, dan laut agar tidak menjadi ganas. Karena tindakan represif manusia terhadap para mahluk gaib, konon kasus Aceh 2004, Sidoarjo, gempa Yogya-Klaten, dan Bengkulu tidak bisa terhindarkan. Saat ini, bencana-bencana alam terjadi silih berganti di Indonesia, karena para mahluk halus pengendali elemen-elemen alam banyak yang tergusur, mengungsi, atau mati. Jika tekanan kekerasan manusia terhadap mahluk gaib makin meningkat, bukan mustahil bencana itu kan terus menerus terjadi. Bentuknya adalah bencana alam raksasa, wabah penyakit, gagal panen, maupun kelaparan hebat.
Ada kecenderungan jelas, dimana para penggusur mahluk halus, juga mereka yang secara aktif merusak lingkungan alam. Efeknya, wilayah yang mahluk gaibnya merana dan terusir, cenderung menjadi padang pasir. Indonesia saat ini juga sedang mengarah pada kondisi seperti itu.
Ada yang memandang bahwa lingkungan yang dihuni oleh mahluk hidup adalah tempat yang angker, sangar, dan berbahaya. Kenyataannya justru sangat bertolakbelakang. Wilayah yang subur, rimbun dengan pepohonan, sejuk dingin, justru adalah tempat yang banyak dihuni oleh mahluk halus. Tempat yang sejuk dan subur seperti itu juga tempat yang sungguh ideal dihuni oleh manusia. Sebaliknya tempat-tempat dimana mahluk hidup tak dihargai, hak azasi ditelikung, alam dirusak, mahluk halus diusir, akan berubah menjadi wilayah yang gersang. Tempat yang gersang adalah tempat yang tak layak dihuni baik manusia, hewan, tumbuhan, maupun mahluk gaib. Sesungguhnya semua mahluk hidup, baik manusia, hewan, atau mahluk gaib, membutuhkan prakondisi tempat hidup yang serupa.
Saran saya untuk mengurangi kasus kerasukan massal itu adalah:
  1. pembangunan secara massal berbagai jenis patung dan tugu tempat para mahluk bisa kembali dari tempat pengungsiannya. Pembangunan patung-patung itu bisa dilaksanakan di berbagai tempat umum, maupun di wilayah khusus yang tertutup seperti kuburan atau kuil-kuil. Secara berkala, perlu diberikan sesajen pada berbagai mahluk itu, agar mereka tidak kelaparan dan kemudian berubah menjadi mahluk gaib liar.
  2. reboisasi berbagai pepohonan besar yang ada di wilayah publik. Perlu dibuat hutan-hutan lindung di kota. Selain fungsinya sebagai pemegang air, berbagai mahluk gaib akan gembira tinggal di dalamnya. Pada gilirannya secara sukarela mereka akan menjaga lingkungan agar tetap tenteram, sejuk, dan subur.
  3. Pendirian punden-punden baru di areal-areal strategis seperti di bawah pohon besar, mata air, pinggir sungai, lereng gunung, karang terjal, dan sebagainya. Wilayah seperti itu tak menghalangi masyarakat untuk datang dan menikmati keteduhan, serta keindahan arsitekturnya. Dengan semakin banyaknya tempat unik seperti itu, maka justru akan membangkitkan sektor pariwisata lokal maupun internasional.
  4. Memberdayakan masyarakat agar kembali memberikan penghormatan kepada mahluk hidup yang ada di sekeliling mereka, termasuk pada mahluk gaib.
  5. Memfasilitasi kegiatan-kegiatan pemberian sesajen baik di lingkungan keluarga, lingkungan sosial, hingga di tingkat nasional dan internasional.
  6. Penyelenggaraan berbagai festival yang melibatkan unsur trance di sana. Dengan semakin banyak dilakukan festival trance, seperti Tari Keris, Jathilan, Angguk, Jaran Kepang, maka para mahluk gaib akan merasa identitas sosialnya dalam kehidupan sosial mulai dipulihkan. Kesurupan dan trance akan bisa difahami sebagai fenomena yang wajar, bisa dikendalikan, dan sifatnya aman.
  7. Adanya upaya keras dari masyarakat untuk melarang penggusuran dan perusakan tempat tinggal mahluk halus. Sejak dini, anak-anak sekolah diajari untuk menghormati tempat tinggal mahluk halus.
  8. Pembentukan Lembaga Advokasi Mahluk Halus. Tujuannya setara dengan LBH-LBH maupun NGO-NGO lain yang membela masyarakat manusia yang miskin, adalah membela mahluk halus dari kekerasan publik. Semua jenis mahluk hidup pada dasarnya memiliki tuntutan hak azasi yang sangat jelas.
Bentuk-bentuk tindakan tersebut merupakan sebuah upaya rekonsiliasi konflik antara kehidupan manusia, mahluk halus, dan alam. Diharapkan dengan bentuk upaya rekonsiliasi tersebut maka problem kerasukan massal juga akan berkurang intensitasnya. Pada gilirannya, semoga manusia Indonesia akan bisa lebih bersikap dewasa, dan bisa maju menapaki kehidupan modern secara lebih adil dan bijaksana.

Boedhi Margono
Antropolog


For ideas on reducing your carbon footprint visit Yahoo! For Good this month.

Tidak ada komentar:

SiteSearch Google

Google