Kamis, 30 Oktober 2008

10 Pandangan Keliru Ade Armando Tentang RUU Pornografi

Ditulis dalam Uncategorized by boedhimargono di/pada Oktober 23rd, 2008
Boleh dikatakan seluruh pembelaan Ade Armando terhadap RUU Pornografi Ade dalam Majalah Madina edisi Oktober 2008 keliru besar dan menyesatkan.

1. Dia berkata bahwa RUU pornografi tidak bertentangan dengan hak azasi manusia karena pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dapat dilakukan atas dasar, antara lain, pertimbangan moral dalam masyarakat. Dan katanya hal itu sesuai dengan teks dalam Deklarasi Univeral Hak-hak Asas Manusia (ayat 29). Ya. Memang pembatasan-pembatasan berbasis moral seperti itu tidak menyalahi Deklarasi itu. Namun Ade Armando harus menyadari bahwa Deklarasi itu dibuat zaman dahulu kala, yang tentu saja sudah menjadi sangat usang saat disandingkan dengan perkembangan faham kebebasan sipil kontemporer. Deklarasi itu memang berguna besar dalam menjamin HAM, namun dalam batas yang sifatnya dasar dan minimal. Dalam perjuangan HAM yang sesungguhnya kebebasan sipil harus diperluas lagi bagi kebutuhan kemanusiaan. Ia juga berkata bahwa kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Ia berkilah bahwa
sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang pornografi sebagai "anak haram" yang bukan hanya mengganggu etika kaum beradab tapi juga dipercaya membawa banyak masalah kemasyarakatan. Jawaban saya adalah masa-masa 30-40 tahun lalu adalah sekitar tahun 1960-1970an adalah sebuah batas zaman, dimana memang telah terjadi pergolakan besar dalam perjuangan membela hak-hak sipil di Eropa dan Amerika. Pada waktu itu generasi bunga muncul dengan slogan make love no war. Tahun 1968 terjadi revolusi mahasiswa di Perancis menentang berbagai hipokrisi dalam kehidupan masyarakat. Kaum muda sekuler dan liberal di kala itu juga menentang kolonialisme di negara ketiga dan juga diskriminasi rasial di seluruh dunia. Sejak saat itu maka terdapat perubahan besar dunia. Sejak zaman itu pula maka zaman komunikasi pun lahir dengan semangat utamanya akan kebebasan informasi. Zaman setelahnya adalah sebuah zaman perubahan dimana
konservatifisme memang tergusur mundur dan tidak lagi ngetrend. Mengembalikan ukuran moralitas kembali pada tahun 1960-an sama saja dengan balik mundur pada zaman konservatif saat itu, dimana rasialisme, perang kolonial, apartheid, pembatasan informasi negara, pembatasan terhadap ekspresi kaum perempuan, dan lain-lain adalah sesuatu yang dipandang wajar dan benar. Dalam hal ini Ade Armando pada dasarnya ingin mengembalikan dunia pada era tahun 1960-an kembali. Tentu saja hal itu adalah ide yang sangat anti kemajuan. Mimpi Ade Armando ini merupakan mimpi seluruh kaum konservatif di dunia.

2. Ade Armando menolak bahwa RUU itu beragenda menegakkan syariah karena mengingat ajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila memang ada agenda Syariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua bentuk pornografi tanpa kecuali. Saya harus mengatakan bahwa RUU itu tidak boleh dilihat sebagai teks tunggal saja tanpa melihat korelasi konteks politis yang lain. Dalam kenyataannya RUU itu sebenarnya menjadi bagian dari proses politik jangka panjang, dimana perjuangan syariahisasi dilaksanakan dalam berbagai lini dan metode. Dalam realitas kita lihat bagaimana kelompok-kelompok konservatif Islam semakin mendominasi dalam proses pemilihan kepala daerah. Ada semacam proses desa mengepung kota di sana. Ada juga proses lain dimana kelompok-kelompok sipil bersenjata seperti FPI melakukan kerja yang lebih kotor dengan teror penyerangan kepada kelompok pluralis. Ada proses dimana media juga disyariahisasikan misalnya dengan pelarangan KPI (Komisi Penyiaran
Indonesia) terhadap peran-peran banci di TV, dimana MUI mengamini dengan sangat antusias. Kita juga melihat di TV acara-acara berbau religius semakin lama semakin mendominasi. Ada HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang mengobarkan ide tentang Khilafah Internasional. Ada proses Perda-perda bermasalah yang berbau syariah yang membelenggu kebebasan sipil. Bahkan dalam proses itu hadir juga kelompok klandestin teror seperti Dr Azahari maupun Amrozi. Artinya RUU Pornografi itu adalah semacam gerbang pembuka bagi gerakan lain yang lebih utama, yaitu penerapan syariah tidak hanya di Indonesia, tetapi juga kawasan bahkan dunia.

3. Ade Armando menolak bahwa RUU itu mengkriminalisasi perempuan. Ia menyatakan bahwa justru yang berpotensi terkena ancaman pidana adalah kaum lelaki. Katanya RUU ini justru mengancam dengan keras mereka yang mendanai, membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan dan memiliki pornografi. Ia berkilah bahwa mengingat industri pornografi adalah industri yang dibuat dan ditujukan kepada (terutama) pria, yang paling terancam tentu saja adalah kaum pria. Pandangan Ade Armando seperti ini sangatlah sesat. Berhubung kriteria pornografi dalam teks RUU itu sangatlah sumir dan luas, maka potensi korban yang jelas paling menderita tentu saja adalah kaum perempuan. Terutama kelompok perempuan kelas bawah. Hal ini karena RUU itu mendorong kontrol-kontrol yang makin kuat bagi masyarakat bawah, dimana budaya patriarkal dan misoginis paling brutal terjadi. Budaya patriarkal dan misoginis di kalangan ini selalu mengorbankan kaum perempuan yang paling miskin dan tak berdaya.
Pada dasarnya RUU itu segera akan mengkriminaliasasi para pekerja seks komersial kelas bawah serta kaum ibu rumahtangga. Mereka kaum paling tidak berdaya karena tidak memiliki akses dana, akses pembelaan hukum yang wajar, dan akses perlakuan hukum yang manusiawi. Sementara itu kelompok sosial atas dan konsumen pornografi kelas menengah dan atas lebih bisa menjalankan konsumsi dan produksi seksualitas secara lebih terlindung karena mereka lebih memiliki akses hukum, dan mampu memanfaatkan teknologi yang lebih canggih dan tidak mudah ditelusuri. Kontrol syariah itu lebih berfungsi optimal kepada kelompok masyarakat bawah, dan hal itu memang sesuatu yang mestinya sangat disengaja oleh para penggagas RUU tersebut. Hal ini bisa kita bandingkan dengan di Iran dimana pendukung mullah konservatif adalah kelompok masyarakat bawah, sementara kelas menengah yang lebih liberal terus merasa tertekan dan tidak mampu untuk berbicara banyak karena jumlah mereka yang
lebih kecil. Fenomena itu nampaknya juga hendak dibangun di Indonesia, dimana kelompok liberal dan sekuler pluralis adalah minoritas saja (terutama ada di kalangan kelas menengah). Hal ini karena kelompok masyarakat bawah adalah kelompok yang paling rentan untuk ditindas, lebih mudah untuk dimanipulasi pandangannya, lebih mudah untuk digiring pada keyakinan dan ideologi tertentu. Jumlah mereka yang besar membuatnya potensial untuk menjamin proses syariahisasi berjalan dengan mulus di Indonesia.

4. Ade Armando menyatakan bahwa definisi kabur tentang pornografi adalah wajar. Hal itu memang ada dalam berbagai perundangan di dunia. Hal itu adalah pandangan yang sangat buruk dan keliru. Pandangan itu juga merupakan pandangan yang seakan menafikan betapa takutnya masyarakat pada piranti hukum yang ada. Betapa ia tidak peduli akan repotnya para pelaku seni, misalnya, jika harus berhadapan dengan proses hukum dan pengadilan yang korup di Indonesia. Ia tidak peduli bahwa kelompok rentan seperti pekerja seks komersial kelas bawah pada dasarnya bahkan tidak terlindungi oleh bantuan hukum. Dalam konteks Indonesia dimana kepastian hukum dengan mudah dipelintir oleh mereka yang memiliki kekuasaan, hal ini mengindikasikan juga sebuah cita-cita, harapan, dan bahkan keyakinan tersembunyi kelompok konservatif agama bahwa mereka bakal bisa sepenuhnya mengontrol institusi hukum dan kenegaraan Indonesia.

5. Ade Armando menyatakan bahwa ketakutan bahwa RUU ini mengancam kebhinekaan adalah keliru, karena pasal-pasal itu seharusnya sudah tidak lagi menjadi masalah karena sudah dicoret dari RUU yang baru. Ade Armando mungkin pura-pura lupa bahwa di masyarakat ada kelompok sipil yang mendapatkan peluru gratis dengan RUU Pornografi itu. Mereka tidak peduli bahwa isi Undang-Undang itu menjamin kebebasan pada kebhinekaan. Mereka memandang bahwa apa yang mereka anggap sebagai pornografi harus dilibas. Saat ini saja perilaku beringas mereka cenderung dibiarkan saja oleh aparat, apalagi jika RUU itu disahkan. Mereka akan bisa menggunakan berbagai alasan untuk pembenaran kebrutalan mereka melalui cuplikan-cuplikan ayat dalam UU itu. Aparat hukum sendiri juga berpotensi memain-mainkan hukum dengan sahnya RUU itu. Blackmail-blackmail dan pungutan-pungutan liar akan menjadi sesuatu yang akan biasa ditemui. Undang-undang itu juga akan secara de facto memecah belah
bangsa ini dalam wilayah-wilayah yang pro dan kontra akan Undang-undang itu. Akan hadir kebencian dan kecurigaan dari kelompok agama tertentu pada kelompok agama yang lain, daerah tertentu terhadap daerah yang lain, ekspresi budaya tertentu kepada ekspresi budaya yang lain. Bakal ada masyarakat dan etnis yang merasa di diskriminasikan dan dilecehkan karena budaya mereka dikategorikan porno, seperti budaya Bali maupun Papua. RUU itu berpotensi memecah bangsa ini menjadi berkeping-keping.

6. Ade Armando manyatakan bahwa para pengkritik RUU itu hanya menakut-nakuti masyarakat saja mengenai potensi RUU itu mengatur cara berpakaian. Ade Armando sekali lagi seakan menutup mata terhadap fakta tentang bertebarannya perda-perda yang bermasalah seperti kewajiban siswa berjilbab di berbagai daerah. Di Tangerang ada perda yang mengkriminalisasikan perempuan yang pulang kerja malam dan dipandang berpakaian serta berperilaku seperti PSK. Ade Armando seakan mengecilkan fakta dan realitas bahwa proses syariahisasi cara pakaian itu sudah berjalan sejak beberapa waktu ini di beberapa daerah, dan RUU itu bakal menjadi pembenar mutlak atas perda-perda yang akan lebih menjijikkan lagi, terutama soal perpakaian, tingkah laku, cara bergaul, dan sebagainya.

7. Ade Armando menyangkal bahwa RUU itu berpotensi menimbulkan perilaku anarkis oleh kelompok masyarakat tertentu kepada yang lainnya. Katanya justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadap kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri bahwa dalam alam demokratis, karena peran serta itu tak boleh ditafsirkan semena-mena. jelas hal ini pandangan yang ngawur. Ade Armando lupa bahwa kelompok sipil fasis itu sebenarnya tidak peduli dengan hukum. Dan kenyataannya mereka juga boleh dikatakan tidak tersentuh oleh hukum. Hukum di Indonesia masih bersifat politis. Selama akses kekuasan dikontrol oleh kelompok masyarakat atau ideologi tertentu maka mereka dengan sangat leluasa menjejalkan sikapnya kepada masyarakat. Kelompok pembela syariah secara anrkis itu bakal hanya memiliki satu fikiran, bahwa Undang-undang Pornografi itu berfihak pada mereka. Dan memang jika RUU itu gol, pada dasarnya Indonesia bergerak menjadi makin ke kanan. Dengan semakin ke arah
kanan, maka mereka pun akan makin bebas bergerak. Hukum pun bakal takut kepada mereka. Ini semacam pertarungan common sense.

8. Ade Armando menyatakan bahwa RUU ini membedakan pornografi dibandingkan KUHP dengan pilihan hukuman yang lebih detail. Ada hukuman yang ringan untuk pelanggaran ringan dan yang berat untuk yang berat juga. Ia juga menyatakan bagaimana muatan-muatan tertentu bisa diatur distribusinya. Pandangan ini sangat menyesatkan karena menafikan bahwa dalam realitas keseharian, KUHP tentang pornografi sebenarnya sedang separuh dianulir karena hadirnya kesadaran masyarakat bahwa zaman sudah berubah. MAsyarakat bisa melihat di media tentang Britney Spears dan mereka sudah menganggapnya wajar. Perilaku selebriti Indonesia pun sudah tak mudah dibedakan dengan Britnsey Spears atau beyonce. Dan masyarakat umum tidak menganggap lagi tampilan itu porno atau merangsang. Mereka menganggap hal itu biasa saja dan tidak terangsang secara seksual. Tetapi memang kaum konservatif religius merasa jengah atas fenomena ini. Apalagi kaum konservatif religius itu umumnya adalah kaum
yang mudah terangsang secara seksual namun munafik. RUU Pornografi yang lebih detail itu adalah semacam upaya untuk merampas kembali kebebasan ekspresi masyarakat itu dengan merevitalisasikan lagi pasal KUHP yang secara common sense dianulir itu. Hal ini menandakan bahwa RUU ini benar-benar buah karya kaum konservatif dan puritan.

9. Ade Armando percaya bahwa bahwa negara lazim diberi kewenangan untuk melindungi masyarakat dengan antara lain mengeluarkan peraturan perundangan yang ketat demi melindungi warganya dari perilaku menyimpang seperti seks bebas, kekerasan seks, dan sebagainya. Dalam hal ini Ade Armando salah dan sesat fikir. Yang pertama bahwa tidak semua budaya dan agama di Indonesia menabukan dan menganggap keliru seks bebas. Dalam hal ini Ade Armando menjadi seorang yang etnosentris dan religiosentris. Dalam kaitan ini ia sedang dalam terlibat dalam proses penafian pluralisme yang sesungguhnya. Dalam hal kekerasan seks, maka KUHP sebenarnya sudah mengatur pasal mengenai delik kekerasan. Delik itu sudah sangat mencukupi. Dalam kenyataannya apa yang dipandang para penggagas RUU pornografi sebagai hal yang porno itu boleh dikatakan 90% adalah berkait dengan kebebasan berekspresi tubuh oleh masyarakat dan seniman, yang minimal sekali kaitannya dengan soal kekerasan serta
penyimpangan psikologis lainnya.

10. Ade Armando menyatakan bahwa RUU ini justru memberi penghormatan khusus pada wilayah kesenian dan kebudayaan, dengan memasukkan pasal yang menyatakan bahwa pasal-pasal pelarangan pornografi akan dikecualikan pada karya-karya yang diangap memiliki nilai seni dan budaya. Ade Armando menyembunyikan fakta bahwa pasal itu adalah pasal seolah-olah dimana ranjau-ranjau untuk menjerat para seniman bertebaran. Ade Armando juga menafikan bahwa sebuah karya seni ketika sampai kepada konsumen bisa lagi tidak lagi dikategorikan orang sebagai karya seni. Patung, lukisan, atau foto telanjang yang ada di ruangan rumah orang bisa saja dituduh oleh para maniak konservatif syariah sebagai benda porno. RUU itu akan membatasi ruang gerak dan hidup para seniman. Orang akan menjadi takut untuk memiliki benda seni. Bangsa Indoensia sedang dirampas haknya untuk berbudaya. Bagi masyarakat yang sangat peduli seni dan budaya seperti Jogja-Solo dan Bali, hal itu berarti sebuah
penindasan yang nyata. Orang Jogja-Solo dan Bali amat sadar tentang bahaya RUU itu bagi kehidupan berbudaya mereka sehari-hari.

Demikianlah analisis dan kritikan saya terhadap pandangan-pandangan sempit dari Ade Armando mengenai RUU Pornografi ini. Semoga kebebasan, pluralisme, dan sekularisme menang di Indonesia. Tidak ada kata menyerah bagi kita. Lawan fasisme, fundamentalisme, dan konservatifisme.

NO PASARAN!!!

Tidak ada komentar:

SiteSearch Google

Google